Urip Rapanggah.

Beranda » Silaturahim » Perlindungan terhadap Anak di Luar Nikah

Perlindungan terhadap Anak di Luar Nikah

Oleh : Ahmad Mufid Bisri

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat terobosan. Jumat (17/02) MK mengeluarkan putusan tentang status anak di luar nikah. Putusan itu menyatakan bahwa mereka kini diakui oleh hukum, terutama terkait hubungan perdata dengan ayah biologis mereka.

Apresiasi atas terobosan MK pun berdatangan dari berbagai kalangan. Mulai dari LSM penggerak HAM sampai Komisi Perlindungan Anak. Respon mereka seragam. Putusan tersebut sangat melindungi anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Ketua MK Mahfud MD bahkan menyebut putusan ini sebagai putusan yang revolusioner. Di lain pihak, kalangan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempertanyakan putusan ini dan menilai peruntukannya harus diperjelas.

Fenomena ini mengingatkan kita pada awal tahun 2010 lalu tentang wacana pemberlakuan hukuman pidana bagi pelaku kawin siri (perkawinan yang tidak didaftarkan di KUA). Pro dan kontra juga muncul dari banyak kalangan waktu itu.  Bedanya dengan sekarang –in casu putusan MK-, objek pembicaraan terdapat pada anak hasil kawin siri tersebut. Termasuk di dalamnya anak hasil perzinahan.

Kasus Posisi

Seperti diberitakan, seorang wanita bernama Machica Mochtar menikah siri dengan Moerdiono (menteri di era Orde Baru) pada 20 Desember 1993. Pada tahun 1996 dari mereka lahir seorang anak bernama M. Iqbal Ramadhan, tapi tidak diakui Moerdiono.

Machica  kemudian mengajukan judicial review atas Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ayat tersebut berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Permohonan Machica dikabulkan oleh MK. Dalam putusannya nomor 46/PUU-IX Tahun 2011, MK menetapkan seharusnya ayat tersebut berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Dalam pertimbangannya, MK menilai hubungan hukum anak dengan ayahnya tidak semata-mata didasarkan pada adanya ikatan perkawinan. Itu juga dapat didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang bersangkutan. Padahal dia tidak bersalah atas kelahirannya. Setiap bayi memang dilahirkan dalam keadaan suci. (lihat HR. Bukhori nomor 1385).

Jika ditilik lebih lanjut, konsekuensi putusan ini meliputi empat hal. Pertama, status nasab (bin/binti) anak tersebut beralih kepada ayahnya. Kedua, hubungan mahram hal mana anak tersebut berjenis kelamin perempuan. Sederhananya, anak perempuan dan ayah biologisnya tidak menjadi batal wudhu jika kulit mereka bersentuhan. Ketiga, status perwalian ketika kelak anak perempuan di luar nikah melangsungkan perkawinan, ayahnya yang berhak dan berkewajiban menjadi wali. Keempat, perolehan harta warisan layaknya anak sah.

 

Dilematis

Adabeberapa peraturan yang sejalan dengan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan. Di antaranya Pasal 100 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Pasal 186 KHI juga menyebutkan “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”. Pasal-pasal ini dijadikan pertimbangan hukum di Pengadilan Agama dalam memutus perkara permohonan pengesahan anak.

BW (Burgerlijk Wetboek) bahkan secara khusus mengatur status anak luar nikah dalam satu bab dan 8 pasal. Isinya pun sejalan dengan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan. Belakangan diketahui pasal-pasal tersebut saling menguatkan. Aturan pasal ini berlaku di Pengadilan Negeri.

Menyoal judicial review (hak uji materiil), memang sudah merupakan kewenangan MK sebagai lembaga peradilan yang menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Ini perintah UUD 45. Judicial review berfungsi untuk menguji suatu peraturan. Jika bertentangan dengan konsiderans di atasnya (UUD 45), maka harus ditangguhkan dan dinyatakan tidak mengikat.

Perlu diingat, sebuah rancangan Undang-undang (RUU) sebelum disahkan terlebih dahulu dilakukan pengkajian-pengkajian dari berbagai macam disiplin ilmu. Selain itu diadakan juga pendekatan-pendekatan etis, filosofis, sosiologis, budaya dan agama. Setelah semua proses itu, maka mengkristallah rancangan tersebut menjadi sebuah Undang-undang. Hal ini juga terjadi pada Undang-undang Perkawinan.

Undang-undang tidak bisa dikritisi hanya dari satu pendekatan/segi saja. Jika itu yang dilakukan MK, maka akan sangat berantakan. Di satu sisi putusan MK dalam kasus di atas dapat mengembalikan hak-hak dan perlindungan anak di luar nikah. Tetapi tidak menutup kemungkinan akan muncul permasalahan baru di belakang akibat dari putusan MK ini. Tentu kita semua tidak ingin ini terjadi. Sangat disayangkan keterangan juru bicara MK yang mengatakan mereka tidak masuk ke ranah agama dalam memutus perkara ini. Majelis MK hanya mendahulukan kepentingan anak semata (RiauPos.com 20/02) .

Kita semua tentu patut khawatir terhadap penyalahgunaan (wrong of function). Putusan MK ini bisa saja disalahfahamkan sebagai legalisasi kawin siri dan perzinahan. Dengan diakuinya hak perdata anak di luar nikah terhadap ayah biologisnya, maka jarak antara perbuatan taat hukum dengan pelanggarannya  semakin tipis dan sulit dibedakan. Benar dan salah di mata hukum semakin kabur.

Untuk itu perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, putusan tersebut harus segera ditindaklanjuti dengan memperjelas peruntukannya. Misalnya apakah putusan itu berlaku untuk anak-anak korban kawin siri atau perzinahan, kumpul kebo, perselingkuhan dan sebagainya. Selain itu, putusan ini harus ditujukan untuk perlindungan anak di luar nikah, bukan legalisasi kawin siri dan perzinahan.

Kedua, penggunaan teknologi seperti deoxyribonucleic acid (DNA) harus dijamin validitasnya. Pihak-pihak yang berwenang juga harus memiliki kompetensi dan integritas moral yang tinggi.

Ketiga, sudah seharusnya suatu putusan mengandung nilai pendidikan dan efek jera. Dengan putusan ini diharapkan masyarakat dapat menyatukan persepsi untuk menolak praktek kawin siri dan perzinahan. Melakukan kawin siri berarti tidak patuh terhadap Undang-undang dan perzinahan adalah haram dan dosa besar. Statemen ini sudah mutafaq alaih.

Keempat, perlu  adanya sinergi yang saling menguatkan antar lembaga di negara ini. Lembaga seperti MUI harus juga memperhatikan atmosfir sosial dan hak asasi manusia. Sedangakan Komisi Perlindungan Anak tidak boleh hanya semata-mata memprioritaskan kepentingan anak dan meneriakkan hak asasi anak tanpa kesan mempertimbangan hukum dan agama.

Tulisan ini tentu tidak dimaksudkan untuk menghakimi putusan MK. Apalagi menghakimi anak di luar nikah. Bagaimanapun anak-anak tersebut harus diberi perlindungan layaknya anak lainnya. Marjinalisasi adalah kejahatan sosial. Kita semua sepakat. Anak-anak kita sekarang adalah penentu masa yang akan datang. Jangan dikelasduakan.

Sebenarnya melindungi anak di luar nikah tidak harus berupa pengakuan hubungan perdata terhadap ayahnya.  Opsi ini justru bisa membahayakan keselamatan anak jika tidak diterima oleh keluarga ayahnya. Jika sudah demikian, bahaya selanjutnya adalah dendam berkepanjangan dari kedua belah pihak. Ada baiknya menyatukan mereka dalam sebuah wadah yang berfungsi untuk menata kehidupan mereka. Mereka adalah korban dan layak untuk diberi perlindungan dan dijamin masa depannya oleh Negara. Dengan demikian, satu sisi mereka tetap mendapat perlindungan yang lebih aman, di sisi lain hukum di Negara kita tidak dengan mudah diciderai oleh pelaku kawin siri dan perzinahan. Karena bagaimanapun hukum harus ditegakkan (Fiat justitia ruat caelum, pereat mundus). Wallahu A’lam.


2 Komentar

  1. iwanadicahyonon berkata:

    iseng menulis keyword di google “dedi masrisar” ternyata langsung aku di luncurkan ke blog saudara ?
    gmn kabarnya nya nih mas bro ? sibuk apa di kau sekarang ?

  2. rahmi_ar berkata:

    berarti bener klo dibilang malah akan melancarkan praktek perzinaan..

Tinggalkan komentar